Minggu, 05 Juni 2011

Ujian Ukhuwah Islamiyah


Seorang kawan bertanya dengan nada mengeluh.
“Di mana keadilan Allah?” ujarnya. “Telah lama aku memohon dan meminta padaNya satu hal saja. Kuriringi semua itu dengan sagala ketaatan padaNya. Kujauhi segala larangannya. Kutegakkan yang wajib. Kutekuni yang sunnah. Kutebarkan shadaqah. Aku berdiri di waktu malam. Aku bersujud di kala Dhuha. Aku baca kalamNya. Aku upayakan sepenuh kemampuan mengikut jejak RasulNya. Tapi hingga kini Allah belum mewujudkan harapanku itu. Sama sekali”
Saya menatap iba. Lalu tertunduk sedih.
“Padahal,” lanjutnya sambil kini berkaca-kaca, ada teman lain yang kita ketahui ibadahnya berantakan. Wajibnya tak utuh. Sunnahnya tak tersentuh. Akhlaknya kacau. Otaknya kotor. Bicaranya bocor. Tapi begitu dia berkata bahwa dia menginginkan sesuatu, hari berikutnya segalanya tersaji. Semua yang dia minta didapatkannya. Dimana keadilan Allah?”
Rasanya saya punya banyak kata-kata untuk menghakiminya. Saya bisa saja mengatakan,”Kamu sombong. Kamu bangga diri dengan ibadahmu. Kamu menganggap orang lain hina. Kamu tertipu oleh kebaikan sebagaimana Iblis telah terlena! Jangan heran kalau doamu tidak diijabahi. Kesombonganmu telah menghapus segala kebaikan. Nilai dirimu hanya anai-anai beterbangan. Mungkin kawan yang kau rendahkan jauh lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah karena dia merahasiakan amal shalihnya!”
Saya bisa saja mengucap itu semua. Atau banyak kalimat kebenaran lainnya.
Tapi saya sadar. Ini adalah ujian ukhuwah islamiyah. Maka saya memilih sudut pandang yang lain yang saya harap lebih bermakna baginya sekedar terinsyafkan tapi sekaligus terluka. Saya khawatir, luka yang bertahan jauh lebih lama daripada kesadarannya.
Maka saya katakan padanya,”Pernah engkau didatangi pengamen?”
“Maksudmu?”
“Ya, pengamen,” lanjut saya sering senyum. “Pernah?”
“Iya. Pernah.” Wajahnya serius. Matanya menatap saya lekat-lekat.
“ Bayangkan jika pengamennya adalah seorang yang berpenampilan seram, bertato, bertindik, dan wajahnya garang mengerikan. Nyanyiannya lebih mirip teriakan yang memekakkan telinga. Suaranya  kacau, balau, sengau, parau, sumbang dan cemprang. Lagunya malah menyakitkan uluh hati, sama sekali tak dapat dinikmati. Apa yang akan kau lakuakn?”
“Segera kuberi uang,”jawabnya, “Agar segera berhenti menyanyi dan cepat-cepat pergi.”
“Lalu bagaimana jika pengamennya itu bersuara emas, mirip sempurna dengan Ebiet G. Ade atau Sam Bimbo yang kau suka, menyanyi dengan sopan dan penampilannya rapi lagi wangi; apa yang kau lakuakan?”
“Kudengarkan, kunikmati hingga akhir lagu,” dia menjawab sambil memejamkan mata, mungkin membayangkan kemerduan yang dicanduinya itu.”Lalu kuminta dia menyanyikan lagu yang lain lagi. Tambah lagi. Dan lagi.”
Saya tetawa.
Dia tertawa.
"Kau mengertikan?” tanya saya. “Bisa saja Allah juga berlaku begitu pada kita, para hambaNya. Jika ada manusia yang fasik, keji, mungkar, banyak dosa, dan dibenciNya berdoa memohon padaNya, mungkin akan Dia firmankan pada malaikat:’Cepat berikan apa yang dia minta. Aku muak mendengar ocehannya. Aku benci menyimak suaranya. Aku risi mendengar pintanya?”
“Tapi”, saya melanjutkan sambil memastikan dia mencerna setiap kata, “Bila yang menengadahkan tangan adalah hamba yang dicintaiNya, yang giat beribadah, yang rajin bersedekah, yang menyempurnakan wajib dan menegakkan sunnah; maka mungkin saja Allah akan berfirman pada malaikatNya: ‘Tunggu! Tunda dulu apa yang menjadi hajatnya. Sungguh Aku bahagia bila diminta. Dan biarlah hambaKu ini terus meminta, terus berdoa, terus mengiba. Aku menyukai do’a-doanya. Aku menyukai kata-kata dan isak tangisnya, Aku menyukai khusyu’ dan tunduknya. Aku menyukai puja dan puji yang dilantunkannya. Aku tak ingin dia menjauh dariKu setelah mendapat apa yang dia pinta. Aku mencintaiNya”
“Oh ya?” matanya berbinar. “Betul demikianlah yang terjadi padaku?”
“Hm… Pastinya aku tak tahu,” jawab saya sambil tersenyum. Dia agak terkejut. Segera saya sambung sambil menepuk pundaknya, “Aku hanya ingin kau berbaik sangka.”
Dan dia tersenyum. Alhamdulillah
  [dikutip dari “Dalam Dekapan Ukhuwah” oleh Salim A. Fillah]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar